Kutitipkan rindu kepada bait puisi

Ada rindu yang kukecap di ujung lidah, tempat di mana kata-kata lepas menjadi makna.
Ada rindu yang kusemai di tanah gersang, benih-benihnya kelak tumbuh mengemis hujan.
Ada rindu yang meronta-ronta, ingin dibebaskan dari dalam kepala.
Kepala yang terus memikirkan cara untuk merajut kembali senyummu,
Yang tiada duanya.
Ada rindu yang kubisikkan kepada daun-daun yang gugur di penghujung hari,
Yang mengering untuk kemudian sirna.

~

Rindu tidak akan pernah musnah, dia bukan api yang menyala untuk kemudian menjadi abu, bukan pula ombak yang gagah berlari untuk kemudian surut kembali.

Rinduku adalah pijar yang selalu bersinar, tak akan padam dibelenggu kelam. Rinduku adalah pohon yang berakar kokoh, tak akan goyah diterpa badai.

~

Rinduku adalah kata-kata yang kutitipkan di bait-bait puisi,
…Temui aku di sana.

.

.

Pekanbaru, 4 November 2017

Hujan di bulan Oktober

Hujan di bulan Oktober selalu menumpahkan riuh, sisa sisa gemuruh yang menggenang selepas petang.

Meninggalkan mega yang angkuh, yang enggan memamerkan jingga-nya. Meninggalkan sepucuk rindu, yang kerap mengusik lelapnya.

Aku mendekap tubuh hangatmu, membenamkan lelah ke dalam mata teduhmu, menyengap kidung malam melalui renyah candamu.

Ada cinta yang mengembun, di balik jendela basah yang tidak pernah kau buka. Ada rasa yang menyuar dalam gelap menembus gegana, kepada belai manjamu duduk menghamba.

Aku ingin berlama-lama memelukmu, menjelma menjadi bara yang menghangatkanmu. Menenangkanmu ketika guruh memekikkan amarahnya.

Rinai terakhir jatuh ke tanah, menebar aroma peluruh resah. hujan di bulan Oktober melambaikan tangannya.

 

 

Surat kepada Tuhan

Apakah Tuhan mendengarkan doa hamba-hambanya yang putus asa?

Atau hanya teruntuk mereka yang sumringah memuja-muja?

Lelaki yang berpijak di tepian bumi yang relatif, penuh dengan kemungkinan-kemungkinan. Sepersekian detik kemudian dia bisa saja menghela nafas terakhir, atau tetap hidup menjadi pecundang.

Apakah Tuhan mendengarkan doa hamba-hambanya yang kesepian?

Doa pendosa yang letih bermuram durja, berkelana melewati badai suramnya dunia. Waktu tidak memudarkan lukanya, Tuhan.

Waktu merepih sukmanya.

Luka membuangnya jauh ke dasar bumi, tempatMu membuang iblis-iblis yang meraung kesakitan.

Lelaki yang berharap doanya Kau jawab. Dan Kau membisikkan ‘semua akan baik baik saja’.

 

 

Aku hanya rindu, itu saja.

Senja yang kusambut dengan pilu, daun teh yang kuseduh perlahan di sore itu.

Petang tak kunjung usai, berharap temaram menjemput kegelisahan.

Bawa aku berlayar ke pantai bira, seperti dahulu di sana kita berikrar sumpah.

Apakah air matamu masih seperti dulu? Hanya akan berderai jika aku lupa mengucap rindu?

Kita akan menunjuk-nunjuk ke langit, ketika mentari mulai ditelan tepian samudera. Dan kau bergumam ‘apakah malam terkungkung sepi tanpa hangatnya surya?’. Kau dan pertanyaan polosmu yang terkadang sulit untuk kujawab.

Apakah kau masih mempertanyakan apakah nelayan selalu rindu pulang dan hangatnya terlelap di peraduan?

Gelap perlahan menyeruak melahap senja.

Aku masih di sini, menyimpan segala pertanyaan yang tak butuh untuk kau jawab.

Aku hanya rindu, itu saja.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Blues Berdua: Idealisme yang berangkat dari sebuah kota kecil

15095471_1195851133839655_4047904469967136260_n

 

Berawal dari keisengan dua pemuda usia akhir 20-an di sebuah warung kopi di tepian jalan kota Rengat, Indragiri Hulu,  yang merencanakan travelling sembari ngamen membawakan blues ala missisipi. Rencana travelling yang dimaksud gagal, tentunya, namun konsep blues berdua yang dikonsensuskan melalui lesapan pahit asam arabika toraja tersebut yang telah melahirkan grup musik yang saya jalani sekarang: Blues Berdua.

Adalah saya sendiri dan rekan saya Riko, yang memulai ide gila untuk meracik kesederhanaan ala kota kecil ke dalam hidangan musik blues yang pada dasarnya terlahir untuk menjadi musik sederhana. Blues adalah jalan hidup saya, terlahir dari keluarga yang mendedikasikan hidupnya untuk seni, Blues telah menjadi sahabat saya sejak saya menginjak usia remaja. Ketertarikan kepada musik petani kapas tersebut lantas membuat saya berminat untuk mempelajari alat musik, yang pada akhirnya pilihan saya jatuh kepada instrumen sejuta umat: gitar. Riko adalah rekan saya di band saya sebelumnya, John Henry. Berada di posisi yang sama dengan saya (gitaris), belakangan ketertarikannya kepada musik missisipi mengajaknya untuk mengenal instrumen baru yang unik: Blues harp. voila, Muddy Waters telah menemukan Little Walter nya.

Dari pinggiran sungai Indragiri, Blues Berdua hoboing*) ke ibukota provinsi, Pekanbaru. Dengan mengajak musisi asal Rengat lainnya, yaitu Indra (Cajon), dan Rhido (Vokal), Blues Berdua mencoba memenangkan hadiah utama dari sebuah festival akustik, yaitu tampil di depan pengunjung Riau Expo 2016.  Hadiah utama gagal diraih karena diskualifikasi akibat berhalangan tampil di putaran final, Blues Berdua dengan sedikit keberuntungan berhasil mendapatkan jatah manggung di Riau Expo 2016. Dengan formasi berempat, semakin banyak teman dan keluarga yang melontarkan pertanyaan ‘nama bandnya berdua, kok berempat?’, dan biasanya hanya saya jawab dengan sedikit candaan ala om-om penggoda mahasiswi: ‘karena kalau hanya berdua yang ketiga adalah syaiton’.

15202502_1195841217173980_136137452816148042_n

 

Blues Berdua saya sendiri yang menamainya, memang, akan tetapi bukan serta merta karena formasi awal kami adalah duo, namun ada unsur filosofis yang coba saya tanamkan dari nama ‘Blues Berdua’ tersebut. saya menggunakan frasa ‘berdua’ adalah untuk mencitrakan keintiman, kedekatan, karena itu saya selalu berusaha memasukkan unsur kesehari-harian dalam karakter Blues Berdua. Kesederhanaan dan kejujuran, adalah prinsip dasar dari karakter Blues Berdua, dan harapan kami adalah meramu kejujuran dan kesederhanaan tersebut ke dalam musik Blues yang mungkin belum terlalu familiar dengan kuping penikmat musik tanah air.

Unsur ‘kedekatan dengan pendengar’ tersebut saya tuangkan ke dalam lagu pertama kami, Psychic Blues yang berbahasa Indonesia. Tema lagunya adalah klenik, yang juga dekat dengan kebudayaan kita (haha). singkat kata, Psychic Blues adalah reinterpretasi legenda crossroad yang diasimilasikan dengan kearifan lokal. Lagu berirama delta blues ini saya buat pada tahun 2009, dan saya bawakan bersama Blues Berdua pada bulan November 2016 di even Bono Jazz Festival 2016. di even tersebut saya meminta bantuan dua musisi Pekanbaru yang sudah memiliki jam terbang tinggi, yaitu Muhammad Hadi (Bass), dan Lesmana (Gitar).

15697555_1234728866618548_4701317894398982479_n

Project terakhir penutup tahun dari Blues Berdua adalah video live yang direkam oleh bantuan rekan-rekan tim Music Corner Id yang dengan apik sukses merealisasikan keinginan kami untuk menampilkan musik Blues yang sederhana di depan kamera. Lagu yang kami bawakan adalah ‘Brown Skinned Woman‘, kali ini berbahasa Inggris, namun tetap dengan tema yang dekat dengan kehidupan kita, dan juga ditambah dengan visual video yang terasa sangat akrab di kehidupan sehari-hari.

Tahun 2017 adalah pembuka semangat baru, masih banyak agenda dari rekan-rekan Blues Berdua yang belum tercapai di 2016. Semoga karya-karya kami segera bisa direalisasikan dalam bentuk album, dan semoga idealisme yang berangkat dari kota kecil ini tidak luntur termakan arus musik modern. salam cinta dari kami, Blues Berdua.

 

follow our instagram: @bluesberdua
or contact us : bluesberdua@gmail.com

 

 

 

 

 

 

Sing Street: Romantika remaja dalam balutan new wave music

‘you only have the power to stop things, not to create!’

 

Sing_Street_poster.jpeg

Begitulah kalimat yang dilayangkan Cosmo ‘Connor’ Lalor kepada pembully-nya di sekolah dalam film ini. Setelah sukses dengan film bertema musik lainnya, Once (2007) dan Begin Again (2013), John Carney kembali menggarap film bertemakan musik, yang kali ini berbeda dengan dua film sebelumnya karena berlatar belakang kehidupan remaja tanggung di kota Dublin.

Film ini mengajak kita kembali ke 1985 di kota Dublin, Irlandia. Cosmo ‘Connor’ Lalor (Ferdia Walsh-Peelo) adalah seorang remaja yang memiliki masalah keluarga dan dipaksa untuk beradaptasi dengan sekolah barunya, belum lagi menghadapi pembully-an dan sikap represif dari sang kepala sekolah, Brother Baxter (Don Wycherley). Memiliki bakat dalam menulis lagu, Connor bertekad untuk membentuk sebuah grup band demi memikat hati seorang model yang ditemuinya di seberang jalan sekolah, Raphina (Lucy Boynton).

Film ini sendiri memiliki premis yang sederhana, bagaimana seorang remaja berusia 15 tahun dengan hidupnya yang membosankan berusaha menarik perhatian seorang gadis dengan ngeband. Banyak dari kita sendiri yang pernah mengalaminya, bukan? Namun yang menjadi kekuatan di film ini sendiri adalah bagaimana John Carney mengemas cerita itu semua dengan salah satu keajaiban Tuhan yang pernah diciptakan di dunia: Musik.

Musik adalah media bagi John Carney dalam menyampaikan pesan dan membawa emosi cerita ke hadapan penonton, seperti yang telah kita saksikan dalam film Once yang bernafaskan Irish-Folk, dan Begin Again tentunya yang dibalut dengan musik modern pop. Lantas apa yang membuat Sing Street ini menarik? selain latar belakang kehidupan ‘anak sekolahan’ yang diusung, John Carney memasukkan unsur musik new wave sebagai bumbu penyedap dalam film ketujuhnya ini.

Lantas bukan hanya unsur musikal saja yang istimewa dari film ini, romantisme remaja dan musik berhasil dipadukan tanpa terkesan murahan dan klise. Ditambah dengan unsur bromance antara Connor dan abangnya, Brendan (Jack Reynor) yang cukup mengundang haru, dan chemistry ala John Lennon/Mc Cartney yang ditampilkan oleh Connor dan Eamon (Mark McKenna). Soundtrack film pun digarap dengan begitu apik, selain lagu original yang dinyanyikan sendiri oleh Ferdia Walsh-Peelo, ada juga deretan lagu populer di era 80-an seperti Rio (Duran Duran), Steppin Out (Joe Jackson), dan In Between Days (The Cure). Di akhir film anda juga bisa mendengarkan lengkingan suara Adam Levine yang ikut mengisi original soundtrack di film ini.

Sing Street berhasil merefleksikan kehidupan kita ke dalam dunia penuh hura-hura remaja tahun 80’an, dan jangan salahkan saya ketika anda mengubek-ubek kaset Duran-Duran ataupun The Cure yang telah tersimpan rapih dalam lemari setelah menonton film ini.

 

 

 

Resah

 

terkadang aku menyenandungkan rinai hujan yang selalu menghentikan langkah sepiku. lihatlah wajah-wajah pemurung yang sedang menyesali masa mudanya,
apakah mereka tahu resah yang menggerogoti kepalaku? menjadi kalut seperti goresan pada wajah kulit mereka yang terbakar kerasnya dunia?

memelihara hampa adalah merayakan yang ada dengan ketiadaan.
mengangkat gelas kosong,  bersulang dengan kepura-puraan.

aku adalah resah; seperti pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung menemui jawaban
aku adalah desah; nada yang berasal dari ketidakberaturan.

 

 

Dy.

Gelap sudah menyelimuti peraduan, kukecup wajah tanpa dosa yang tak pernah lupa membuatku bahagia.

kau tertawa, seolah menyemai cerita yang tak sanggup kucerna.
Sudahilah kita bercanda,
derik jangkrik memberi pertanda, titipkan lelah kita hari ini ke alam mimpi.

tidurlah, simpanlah pertanyaan-pertanyaanmu.
menyerahlah pada buaian malam dan nyanyian pengantar lelap

tidurlah, kelak kau akan melawan tirani atau berkompromi, tidak ada yang tahu;
tidurlah dalam gelap, besok kau terjaga sebagai pembawa cahaya.

Blues revival: The Youngster of Blues

Blues is the roots, everything else is just the fruits ,

Begitu kata Willie Dixon, bagaimana Blues sejak dulu dianggap sebagai akar dari segala musik modern. Sejak Robert Johnson mempopulerkan delta blues lalu merangkak ke kota dan electrified sehingga lahirlah chicago blues hingga dimainkan oleh orang kulit putih dari Clapton hingga Steve Ray Vaughan, blues tetaplah sebuah fondasi, blues dengan kesederhanaannya tetaplah tak lekang dimakan usia. Bluenote akan tetap terdengar di setiap notasi musik modern yang anda dengarkan sekarang, dari Jimi Hendrix sampai Beyonce, dari Led Zeppelin sampai Ed Sheeran.

Jauh melompat ke masa kini, apakah Blues sudah mati? Setelah Eric Clapton semakin termakan usia dan tidak lagi se’sakit’ dahulu hingga hembusan nafas terakhir Steve Ray Vaughan akibat kecelakaan helicopter, dan  mangkatnya BB King beberapa waktu yang lalu, apakah generasi ‘blues heroes’ telah usai? seperti generasi ‘rock shredder’ yang mulai dilupakan orang? . Tentu saja tidak, Buddy Guy masih menyabet grammy di usianya yang sudah menginjak 80 tahun. Lalu pertanyaan yang timbul kemudian adalah; siapakah ‘blues heroes’ di generasi gadget ini?

1411490911000-joe-bonamassa

Mari kita mulai dengan Joe Bonamassa.
Joe Bonamassa dikenal sebagai Blues prodigy, pertama kali memainkan gitar saat masih berusia 4 tahun dan di usia 12 tahun menjadi musisi pembuka konser BB King. Masa remajanya dihabiskan dengan ngeband bersama putera musisi Miles Davis, dan hingga sekarang telah menelurkan 12 album. Pada tahun 2009 Joe Bonamassa dipercaya mengisi instrumen gitar di band hard rock Black Country Communion yang digawangi oleh Glenn Hughes (ex- Deep Purple) dan Derek Sherinian (ex- Dream Theatre).

hqdefault

Oke, berikutnya adalah gitaris ganteng yang membuat wanita (dan sebagian pria) tergila-gila, John Mayer.
Siapa yang tidak kenal dengan si playboy bergitar yang satu ini, lahir di Connecticut dan pernah mengambil studi di Berklee College Music di Boston, Amerika. Pertama kali memperkenalkan diri pada tahun 2003 dengan album Room for Square namun pertama kali mempertunjukkan kelihaiannya bermain musik Blues pada tahun 2005 pada album live bersama John Mayer Trio berjudul ‘TRY’. Tidak tanggung tanggung musisi yang diajaknya berkolaborasi di album tersebut, Steve Jordan dan Pino Palladino yang memiliki jam terbang tinggi bersama Eric Clapton, The Who, Jeff Beck, dan sederetan musisi legendaris lainnya.
John Mayer dikenal sebagai pembawa ruh Steve Ray Vaughan kembali ke dunia, hanya saja dikemas dengan unsur Pop dan Jazz yang kental, sehingga lebih bisa diterima oleh pendengar. Eksplorasi yang luas di bidang musik tanpa berbatas genre adalah salah satu kelebihan yang dimiliki oleh John Mayer, tanpa harus menyebut kerupawanannya.

 

720x405-GettyImages-476651870

Slide guitar, instrumen unik berbentuk pipa berbahan metal (atau kaca) ini sering dijumpai di scene musik delta blues. Derek Trucks adalah salah satu musisi Blues yang menggunakan slide dan berhasil membawa instrumen yang satu ini ke level yang lebih liar. Derek Trucks adalah hasil didikan The Allman Brothers band, hingga tidak heran jika warna musik white blues begitu kental mengalir dalam darahnya. Konon nama ‘Derek’ sendiri terinspirasi dari nama Derek and The Dominos milik Eric Clapton. Salah satu pencapaian terbesarnya adalah Grammy yang disabetnya pada tahun 2011 bersama Derek Trucks Band.

 

kenny_wayne_shapherd

Sejak Steve Ray Vaughan dengan Texas Blues nya populer, Blues seakan bertransformasi ke arah virtuosoic, dengan lick lick gitar yang semakin rumit dan cepat. Setelah beliau wafat, bermunculan blues heroes baru dengan tipe permainan yang sama, virtuosoic blues. Kenny Wayne Sherperd adalah salah satunya. Dari permainannya sangat jelas pengaruh Steve Ray Vaughan dan bahkan Jimi Hendrix di situ. Menantu Mel Gibson ini pertama kali merasakan panggung pada umur 13 tahun hingga sampai saat ini sudah 7 album yang dirilisnya.

 

eric-gales

Walaupun hingga saat ini masih didominasi oleh musisi kulit putih, Eric Gales, seorang pria kulit hitam bertangan kidal membuktikan bahwa blues masihlah tetap milik black people. Gitaris yang juga seorang rapper ini juga dikenal dengan nama Rawg Dawg dan Lil E. Albert King dan Jimi Hendrix, dua gitaris negro bertangan kidal adalah inspirasi Eric Gales, sangat terlihat jelas dari tipe permainannya. Pada tahun 2004, Eric dipercaya sebagai salah satu artis yang memberikan penghormatan kepada  Jimi Hendrix dalam album Power of Soul: Tribute to Jimi Hendrix bersama sama dengan Carlos Santana, Prince, Earth Wind and Fire, Eric Clapton, dan deretan musisi ternama lainnya.

popovic

Dalam rangka mempercantik list yang telah saya buat di atas, maka tidak ada salahnya saya memasukkan nama Ana Popovic ke dalam list saya. Perempuan cantik asal Serbia ini pernah menjadi bintang tamu di ajang Jakarta International Blues Festival tahun 2010 lalu. Jebolan Amsterdam Music School ini pertama kali memulai karirnya pada tahun 1999 hingga sekarang.  Album triloginya dikabarkan akan rilis pada bulan ini, berkolaborasi dengan musisi blues muda lainnya seperti Joe Bonamassa dan Robert Randolph.

 

RESIZED.Gary_Clark_Jr__77_

Sebagai penutup list saya, kita akan membahas musisi blues pendatang baru yang lagi happening saat ini, Gary Clark jr. Musisi muda kelahiran Texas ini bisa dibilang membawa warna baru dalam scene musik blues dunia.  Warna vokalnya yang khas dibalut dengan distorsi gitar yang meraung raung adalah ciri khasnya, bisa kita dengar di lagu ‘Grinder’ yang bernuansa blues kental dengan pendekatan sound modern, seolah olah blues dibangkitkan lagi dengan warna yang jauh berbeda. Gary Clark Jr juga mempopulerkan kembali penggunaan Fuzz yang sempat tenar di era 60 an dulu. Pertama kali berkecimpung di dunia musik pada tahun 2004 hingga tahun 2012 dikontrak oleh Warner Bros dan hinga saat ini telah menelurkan 2 album bersama perusahaan rekaman raksasa tersebut. Diorbitkan oleh Clifford Antony, orang yang sama yang telah menemukan bakat Steve Ray Vaughan dan Jimmie Ray Vaughan, sehingga Gary Clark Jr berada di jalur yang tepat dalam menempa bakatnya di bidang musik. Gary Clark juga hadir sebagai kameo dalam film ‘Chef’ dan turut mengambil peran dalam band Miles Davis di film ‘Miles Ahead’.

Nama nama yang saya paparkan di atas adalah sedikit dari demikian banyaknya benih benih baru di dunia musik Blues, yang membuat Blues terus hidup dan bernyawa, terus menjadi akar yang kokoh, yang sampai sekarang semakin diminati oleh pendengar musik dunia dan juga tanah air. Berbicara tentang industi musik dalam negeri, kehadiran musisi musisi blues lokal juga sedikit banyak mengambil peran penting dalam menghidupkan kembali musik Blues di tanah air. Gugun Blues Shelter, Rama Satria Claproth, Ginda Bestari, Adrian Adioetomo, adalah nama nama local Blues heroes yang turut memperkenalkan tradisi Blues ke dalam masyarakat dengan kultur pop melayu.

so, blues is still alive. it’s just like an old man in a boy’s skin, as Clapton said.