Tulisan di bawah saya ambil dari postingan di blog terdahulu (yang lupa passwordnya itu loh jeng) . Klo ga salah saya nulisnya pas bulan puasa tahun kemaren #uhuk #bhuhuk #batukdarah
setelah santap sahur pagi ini mata saya sama sekali tidak bisa tertutup, saya menyalakan i- tunes dengan volume minim dan sayup sayup terdengar alunan lagu dari Efek Rumah Kaca yang berjudul ‘sebelah mata’. Jujur, setiap kali saya mendengar lagu itu, kali itu pula saya langsung memuji kejeniusan cholil sebagai pencipta lagu dan seniman lirik yang jenius. Saya langsung teringat dengan tulisan saya yang pernah dimuat di majalah TUC zine (agak narsis nih critanya) dengan judul ’ Efek Rumah Kaca: Efek Kejeniusan dalam Balutan Lirik Penuh Kritisi’. Tidak salah memang jika saya melemparkan pujian setinggi tingginya kepada Cholil dkk dalam tulisan tersebut.
Kembali kepada lagu tadi,..sebelah mata. Satu hal yang paling saya kagumi terhadap cholil sebagai ‘seniman lirik’ adalah kemampuannya untuk menggubah sebuah lagu dengan lirik berbahasa Indonesia, saya ulangi, berbahasa Indonesia tanpa meninggalkan kesan bahwa lirik berbahasa Indonesia tersebut terdengar cheesy dan ringan, atau malah terlalu berat dan susah dicerna. Karena jujur saja, kebanyakan pencipta lagu mengalami kesulitan dalam membuat lirik berbahasa Indonesia tanpa terjebak dengan kesan ‘cheesy’ atau malah terlalu berat. ‘I am fall into you’ lebih cenderung dipilih dibandingkan ‘aku mencintaimu’. Dan sayangnya, penggunaan lirik berbahasa asing tersebut seakan menjadi tren,..silakan liat band2 indie yang berjamuran, sebagian besar dari mereka lebih nyaman menggunakan bahasa asing dibandingkan bahasa Indonesia,..ditambah dengan para pendengarnya yang tak mau dianggap ‘melayu’, ‘dangdut’ atau ‘norak’ karena menyukai atau menyanyikan lagu yang berbahasa Indonesia. Bahkan saya kadang salah duga jika mendengarkan lagu dari band2 indie karena telah kehilangan ke-Indonesiaan nya, dari nama band, judul lagu, judul album hingga stage act yang sudah mengadopsi budaya asing.
Tapi hal2 tersebut di atas tidak berlaku sama sekali bagi 3 orang musisi yang menamakan diri mereka ‘Efek Rumah Kaca’. Lirik tajam berbahasa Indonesia yang dibalut kritik sama sekali mengikis paradigma ‘lirik berbahasa Indonesia adalah murahan’ dan berhasil dibuktikan dengan karya2nya yang selalu membuat saya kagum dengan gaya penulisan liriknya.
sebut saja gema teriakan yang menggambarkan suara perjuangan pahlawan HAM, Munir yang terbunuh di atas pesawat dalam lagu ‘di udara’
Aku sering diancam
Juga teror mencekam
Kerap ku disingkirkan
Sampai dimana kapan?
Ku bisa tenggelam di lautan
Aku bisa diracun di udara
Aku bisa terbunuh di trotoar jalan
Tapi aku tak pernah mati
Tak akan berhenti..
Aku bisa dibuat menderita
Aku bisa dibuat tak bernyawa
Dikursilistrikkan ataupun ditikam
Atau sebuah lagu kontroversial yang menceritakan hubungan sesama jenis tanpa membuat kita bergidik jijik dalam lagu ‘bukan lawan jenis’
Aku bertemu kamu dalam gelap
Aku menuntunmu menuju terang,
Menuju terang dari gelap malam
Kamu simpan gambarku dalam hati
Dalam mimpi, dan di dalam hati
Dalam mimpi, dan di dalam hati
Aku takut kamu suka pada diriku
Karena memang aku bukan lawan jenismu
Maafkan aku karena mengisi relung hatimu
Karena memang aku bukan lawan jenismu
Kita bertemu muka lagiHanya menatap tanpa bahasa
Tanpa isyarat memendam tanya
Masihkah ku di dalam mimpimu?
dan sebuah lagu yang telah saya sebutkan di atas, ‘sebelah mata’ yang menggambarkan pengalaman penderita diabetes. Cholil bahkan menggunakan kata ‘diabetes’ yang notabene adalah istilah kedokteran yang mungkin sangat aneh jika digunakan dalam sebuah lagu melankolis, namun Cholil berhasil menepis keanehan tersebut dan menjadikannya sebuah lagu yang sampai sekarang membuat saya tercengang jika membayangkan proses penciptaannya.
Sebelah mataku yang mampu melihat
Bercak adalah sebuah warna warna mempesona
Membaur dengan suara dibawanya kegetiran
Begitu asing terdengar
Sebelah mataku yang mempelajari
Gelombang kan mengisi seluruh ruang tubuhku
Terbentuk dari sel akut
Dan diabetes adalah sebuah proses yang alami
Tapi sebelah mataku yang lain menyadari
Gelap adalah teman setia
Dari waktu waktu yang hilang
Efek Rumah Kaca telah membuktikan bahwa tidak harus menggunakan lirik berbahasa asing untuk sekedar terdengar megah ditengah terpaan tren musik kebarat baratan yang membuat musik Indonesia nyaris kehilangan identitasnya. dan juga ‘cobaan’ di dunia musik tanah air dimana band2 pop melayu (ngakunya sih melayu) dengan musik ringan dan lirik pembodohannya yang malah mendiskreditkan kesakralan dan kemegahan lirik berbahasa Indonesia itu sendiri.
pertanyannya,..kapankah musisi dan penikmat musik Indonesia bisa menghargai lirik berbahasa Indonesia?
ada yang memar, kagum banggaku
malu membelenggu
ada yang mekar, serupa benalu
tak mau temanimu
lekas,
bangun tidur berkepanjangan
menyatakan mimpimu
cuci muka biar terlihat segar
merapikan wajahmu
masih ada cara menjadi besar
ada yang runtuh, tamah ramahmu
beda teraniaya
ada yang tumbuh, iri dengkimu
cinta pergi kemana?
memudakan tuamu
menjelma dan menjadi indonesia
( Menjadi Indonesia – Efek Rumah Kaca)